Selo But Sure : 18 Tahun Menjalani Hidup #singpentingyakin (1)




(1) : Menjalani hidup selo di dusun.

Seperti yang sering dilakukan orang-orang sepuh di dusunku dalam menyikapi suatu persoalan yang tidak terlalu problematik juga, mereka selalu berpegang pada prinsip "Alon alon sing penting kelakon" yang jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berarti Pelan pelan saja asal selamat sampai tujuan, atau bisa jadi pelan saja asal selesai dan terlaksana, kurang lebih seperti itu maksudnya. 

Hal inilah yang kutiru dan kupelajari dalam menjalani hidup dan menghadapi persoalan-persoalan. persoalan selayaknya pemuda pada umumnya. Memang ada sedikit modifikasi dalam pemraktekkannya, karena memang duniaku dan dunia mereka kan berbeda. Beda dengan para orang-orang tadi, aku tidak terlalu paham soal menjalani hidup dan problematika di dalamnya, karena aku kan juga masih anak kemarin sore yang dunianya juga masih itu itu saja, jadi aku cuma ingin berbagi cerita dan pengalaman saja, bukan ingin mengajak berdiskusi soal prinsip hidup wkwkwk. lha wong uripku wae raceto kok.

18 tahun hidup di lingkungan yang notabene nggak serius-serius amat, lebih ke selo dan santai, sangat berpengaruh banyak pada kehidupanku juga, secara tidak langsung jiwa jiwa santai ini juga merasuk bersamaan dengan budaya budaya lain yang kental dengan ciri khas dusunnya. Memang orang-orang di dusunku ini orangnya santai dan selo dalam menghadapi dan menjalani hidup di dunia yang isinya terburu-buru ini.

Seperti contohnya, yang paling sederhana saja, yang biasa ditemui, kegiatan "Kerja Bakti". Kerja Bakti dusun biasanya rutin diadakan beberapa bulan sekali atau berapa pekan sekali. Seperti kegiatan renovasi mushola, bersih selokan, atau apapun terkadang takbisa hanya selesai dalam waktu sehari saja. Biasanya mereka akan meneruskan di hari atau pekan depan. "Koyo sesok wes raono dino wae" seperti itu prinsip mereka, kayak besok ga ada hari aja, kurang lebih jika diterjemahankan.

Dalam suatu perenungan, aku sempat berpikir dan bersyukur di satu waktu yang sama, betapa beruntungnya aku dilahirkan dari rahim seorang Ibu yang luar biasa kuat dan sabar, beruntungnya aku dibesarkan oleh keluarga sederhana dan di lingkungan yang sederhana pula, ya di dusunku ini, yang jauh dari hiruk pikuk dan kebisingan dunia yang biasanya aku lihat di berita-berita televisi dan tayangan di linimasa sosial media yang seperti nggak ada habis-habisnya. ya, walaupun belum pernah menjalani gimana rasanya hidup di kota kota seperti yang aku bayangkan ruwetnya tadi, tapi masih bisa melihat dan membayangkan gimana riweuhnya, dan dengan pertimbangan asal asalan kujadikan tolak ukur dengan kehidupan dusun yang jauh lebih asri, santai, dan selo ini.

Eits, jangan senang dulu, hidup di dusun juga ga seenak yang dibayangkan, apalagi jadi perjaka yang mulai menginjak kepala dua, yang kalo di sini biasanya ada peraturan tidak tertulis, pemuda yang umurnya hampir menginjak 20 tahun harus menjadi tulang punggung keluarga, atau minimal bisa cari duit sendiri (bekerja). Mereka yang kurang beruntung atau mungkin punya keterampilan tapi mager ya mau gamau akan jadi topik hangat perghibahan ibu ibu di tongkrongan, di posyandu, pas arisan, atau seringnya setiap membeli sayur di eyek(tukang sayur keliling pagi hari). 

Aku sendiri memilih jalan berbeda dari teman-temanku, dengan memegang teguh prinsip #singpentingyakin, aku memilih melanjutkan studiku setelah lulus SMA, ke jenjang perkuliahan. memang tidak ada banyak pilihan bagi lulusan SMA, kalo tidak kuliah ya mentok jaga toko, begitulah. Lahir dari keluarga yang sangat sederhana tidak menghalangi niatku untuk lanjut sekolah, #singpentingyakin wae, insya allah Gusti kasih jalan, begitulah kiranya. dengan catatan tetap usaha, ikhtiar, doa, baru tawakal. 

Aslinya ada banyak pelajaran dari hidup selo-nya orang-orang di dusunku ini, jika saja kita sebagai pemuda Generasi Z, tidak dibutakan dan terlalu jumawa hidup di zaman teknologi yang jika kita tidak pinter dan selektif malah akan menghancurkan masa remaja kita. Harusnya kita belajar banyak dari mereka, mau berkaca dan menyadari kalau kita ini masih anak kemarin sore dibanding mereka yang sudah banyak makan asam garam dunia. 

Kembali ke hidup selo, saat acara dan perhelatan di dusun yang biasanya hanya dirayakan setahun sekali, misalnya agustusan, malam tirakatan, saja aku masih sering mangkir, atau minimal ikut setengah hari saja. Bukan karena males atau apa, tapi jika kondisi lapangan tidak seperti apa yang dibayangkan, aku lebih memilih untuk membayangkan saja, tanpa melihat langsung. Begitulah, memilih hidup selo juga ngga sembarangan, menurutku.  

Tapi, di zaman yang mulai berubah dan juga tantangan kehidupan yang semakin bervariatif dan problematik ini, menjadi selo harus memiliki prinsip teguh dan keyakinan tinggi. Maka dari itu tak cukup hanya selo saja, tapi diimbangi dengan prinsip #singpentingyakin. Jargon sekaligus prinsip hidup yang kupegang penuh dalam menghadapi tantangan perkembangan zaman dari dulu sampai sekarang ini. Ga cukup sampai di situ saja, yang lebih penting dari menjalani hidup #singpentingyakin adalah kita sudah mencapai batas selo kita dan usaha kita, sisanya trabas, dengan ditambahi sedikit mantra dan jurus pamungkas #singpentingyakin.

Di akhir dari tulisan asal-asalan ini, aku hanya mau sedikit memberi tahu, kalau menjadi selo itu asyik men wkwkw, tapi yang di atas tadi ngga usah pada ditiru, ambil baiknya saja, karena selo-ku ini justru lebih menjurus ke kadar sak-sak e. Yang nanti jatuhnya malah keteran sendiri dan nayal-nayal banget. Jadi ambil yang menurutmu baik, tinggalkan yang kiranya tidak ada manfaatnya. 

"Rindik ngeteni sopo, Banter yo meh ngoyak opo". Begitulah, tidak terlalu santai, tapi juga jangan terlalu spaneng, intinya #singpentingyakin.



Postingan populer dari blog ini

haribu harimu

mana(ta)han

judul e, takon